Pages

Jalan-jalan ke Baduy [2]

Jalan-jalan ke Baduy [2]
Headline
inilah.com/Nury Sybli
Oleh: Nury Sybli
Gaya Hidup - Sabtu, 16 Juli 2011 | 21:09 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Masyarakat Baduy Luar pada dasarnya memiliki aturan adat yang tidak banyak berbeda dengan Baduy Dalam. Hanya aturan di sini sedikit lebih longgar.

Anak-anak Baduy Luar kini diperbolehkan mengenakan celana jins, kaos, dan sandal layaknya anak-anak kota. Jejaring sosial seperti Facebook juga sudah dikenal. Artinya, budaya modern yang selama ini dinikmati masyarakat kota sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Baduy Luar. Telepon genggam, radio, celana pendek, kaos, sandal kini menjadi tren anak muda Baduy.

Bagaimanapun, adat yang mereka yakini masih kental dalam keseharian mereka. Bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu dan tungku besar masih belum berubah. Kesederhanaan dan kebersamaan mereka juga belum banyak berubah.

Sarpin, ayah dua anak warga Kampung Balingbing, Baduy Luar, sengaja membangun rumah dengan ukuran yang luar biasa besar untuk menyediakan para pelancong yang mau menikmati kehidupan masyarakat Baduy tanpa bayaran sepeser pun. Bukan hanya itu, Sarpin juga membangun dua kamar mandi yang disediakan untuk umum di belakang rumahnya.

Para pelancong yang akan menuju Baduy Dalam umumnya singgah satu malam di Baduy Luar di kampung Gajeboh, Babakan Marengo, atau Balingbing. Bagi yang tidak biasa pergi ke sungai dan membutuhkan kamar mandi yang layak hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar itu di kamar mandi kediaman Kang Sarpin.

Membaca & Menulis

Masyarakat Baduy tidak diperbolehkan oleh adat untuk mendapatkan pendidikan dari bangku sekolah. Anak-anak Baduy sejak kecil dididik berladang. Hal itu tampak dari permainan mereka, ngasek padi (menanam padi). Permainan ini butuh kekompakan dan ketepatan dalam pembagian peran. Sebagian anak laki-laki mematok tanah dengan kayu dan anak perempuan menebar benihnya. Sebagian anak laki-laki lainnya mengiringi dolanan ini dengan musik angklung dan gendang.

Mereka hanya mendengar dan melihat. Meski begitu, sebagian masyarakat Baduy bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Bila mereka memaksakan untuk mengenyam pendidikan formal, mereka diharuskan meninggalkan adat dan tentu harus keluar dari warga Baduy.

Mungkin karena larangan adat itu, justru minat belajar mereka cukup tinggi. Setiap ada pendatang (turis lokal) mereka antusias meminta diajari menulis dan membaca bahkan belajar bahasa asing (bahasa Inggris).

Mulyono salah satunya, pemuda tanggung berusia 16 tahun ini memiliki ketertarikan yang luar biasa untuk belajar bahasa Inggris. Sepanjang pengalaman saya menuju Baduy Dalam (Cibeo), Mulyono tidak jarang melontarkan pertanyaan dengan bahasa Inggris yang tengah ia pelajari.

Mulyono adalah satu contoh warga Baduy Luar yang mendobrak paradigma bahwa tidak sekolah bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis.

Magi dan Kuburan

Bila malam menjelang perkampungan Baduy gelap gulita. Tidak ada pelita, tidak ada lampu teplok, obor, apalagi lampu neon. Masyarakat baduy tidak diperbolehkan menggunakan energi yang didapat dengan cara canggih seperti listrik. Mereka juga tidak mau ada kebakaran di kampung. Karena itu mereka memilih bergelap-gelapan pada malam hari.

Dengan aturan adat yang ketat, dengan perkampungan yang senyap, gelap malam menjadi magis. Suasana magis pasti menyerang siap pun yang berkunjung ke Baduy, terutama pada malam harinya. Magi semacam ini rasanya hanya kita temukan di pekuburan yang seram, yang kerap dicuplik oleh film-film nasional sebagai pembentuk suasana horor.

Dengan persepsi modern dan cenderung salah kaprah itu, saya lantas bertanya kepada warga setempat, di mana lokasi pekuburan orang-orang Baduy yang sudah meninggal?

”Tidak ada,” jawab pendamping perjalanan saya. Tentu ini mengherankan.

”Dibakar?” kejar saya.

”Orang-orang yang mati itu dikubur di ladang keluarganya masing-masing. Tapi bila tujuh hari sudah berlalu, kuburan itu kembali boleh kami olah. Kami tanami tumbuhan yang biasa kami tanam di ladang.”

Jawaban itu meyakinkan karena terbukti pada siang hari tidak dapat saya temukan kompleks pekuburan sebagaimana perkampungan di tempat-tempat lain. Tampaknya mereka sadar benar bahwa lahir, hidup, dan mati adalah siklus alami yang tidak perlu direpotkan, ”Yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong.” Sederhana saja.

Buktinya, tanpa kuburan pun mereka tetap magis. Dengan sederhana saja mereka tetap tangguh.

Menuju Baduy

Bagaimana menuju Baduy? Mudah saja. Bagi anda yang memiliki kendaraan pribadi dianjurkan melewati tol Jakarta-Merak, keluar tol Serang Timur dan melewati Serang Kota menuju Rangkasbitung. Mobil pribadi dapat dititipkan kepada warga sekitar terminal terakhir di Kampung Ciboleger.

Pengguna kendaraan umum sebaiknya menggunakan kereta api tujuan Tanah Abang-Rangkasbitung. Untuk jurusan ini harga tiket kereta api kelas ekonomi Rp2.000, kelas ekonomi ekspres Rp4.000. Perjalanan kereta ini memakan waktu dua jam. Dari stasiun kereta menuju terminal Aweh, menggunakan angkutan umum berwarna merah dengan ongkos Rp3.000.

Dari terminal Aweh menuju Ciboleger butuhkan waktu perjalanan selama 120-150 menit, bergantung pada laju kendaraan. Tarif yang diberlakukan pun berbeda-beda, tergantung banyak atau sedikitnya penumpang. Harga terendah Rp13.000, bila penumpang penuh; harga dapat berubah-ubah menjadi Rp15.000 sampai Rp25.000, disesuakan dengan jumlah penumpang. Pun, angkutan umum ini beroperasi pada pukul 5 pagi hingga pukul 3 sore saja.

Setiba di Ciboleger, Anda sebaiknya menemui Lurah atao Jaro Daenah untuk mengisi buku tamu sebagai pengunjung. Bila Anda tiba larut malam dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, masyarakat Baduy menyediakan rumah singgah dengan fasilitas ala kadarnya. Bisa juga menginap di rumah makan satu-satunya di Ciboleger, rumah makan Ibu Yati, juga dengan fasilitas alakadarnya dan biaya sukarela.

Namun bila Anda tetap melanjutkan perjalanan, masyarakat Baduy yang Anda jumpai dengan sukarela akan membantu menjadi porter. Mereka akan membawakan barang bawaan Anda sampai tujuan dengan tips seikhlas Anda.

Biasanya pelancong akan memilih Kampung Gajeboh sebagai persinggahan pertama karena kampung ini adalah kampung terakhir Baduy Luar yang berbatasan dengan Baduy Dalam, hanya dipisahkan oleh sungai dan jembatan gantung yang terbuat dari bambu.

Namun tidak sedikit pelancong yang memilih singgah di Kampung Balingbing. Mengingat kampung ini adalah kampung pertama yang dijumpai setelah melakukan perjalanan kurang lebih satu jam dari Ciboleger. [mor]

0 komentar:

Posting Komentar