Pages

Jalan-jalan ke Baduy [1]

Jalan-jalan ke Baduy [1]
Headline
inilah.com/Nury Sybli
Oleh: Nury Sybli
Sabtu, 16 Juli 2011 | 17:09 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Tempat wisata ternama selalu menjadi tujuan untuk berlibur. Bagi Anda yang suka travelling, cobalah perjalanan ke Kampung Cibeo di Baduy Dalam, Banten.

Kampung Cibeo adalah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam (Baduy Kajeroan). Selain Cibeo, masih ada Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Berjarak kurang lebih 120 kilometer dari Jakarta, kampung-kampung itu masih menjaga ketat adat istiadat.

Kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung.

Desa Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, adalah terminal wisata Baduy yang dibuka pada 1992 dan tempat terakhir kendaraan diperbolehkan masuk.

Pintu masuk utama menuju Baduy Dalam adalah Desa Kanekes di Baduy Luar. Jalur Kampung Kadu Keter pun boleh dicoba karena jarak tempuh akan lebih cepat ke Kampung Cibeo. Pulangnya kita bisa mencoba rute lain yang jaraknya dua kali lipat dengan melewati lebih banyak kampung, yaitu Cipaler, Gajeboh, Babakan Marengo, dan Babakan Balingbing.

Atau sebaliknya, mulailah perjalanan dari terminal terakhir, Ciboleger. Jalur ini akan melalui kampung Kadu Ketug, Babakan Balingbing, Babakan Marengo, Gazeboh, dan Cipaler, baru masuk Cibeo.

Mengingat perjalanan cukup panjang, disarankan untuk beristirahat di kampung terdekat dengan perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, yaitu Babakan Balingbing, Marengo, atau Gajeboh. Jarak untuk sampai ke Gajeboh memakan waktu 1 jam 30 menit dengan perjalanan sangat santai.

Saya selalu memilih Kampung Balingbing sebagai tempat peristirahatan pertama. Selain hanya berjarak 45 menit dari terminal, salah satu warga di kampung ini, Kang Sarpin, memiliki rumah yang besar dan kamar mandi plus water closet (oleh adat setempat, sebenarnya membangun kamar mandi dan WC ini terlarang!). Perjalanan menuju Cibeo dilanjutkan keesokan harinya.

Setelah menempuh lima jam perjalanan melewati jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan Baduy Luar, sampailah kita di Kampung Cibeo. Tanda pembatas memasuki Kampung Cibeo hanyalah rumbai yang diikatkan pada pohon besar. Memasuki kawasan tersebut berarti semua larangan adat diberlakukan, salah satunya larangan memotret.

Ada 90 rumah panggung atau suhunan beratap rumbia berdiri berjajar berhadap-hadapan dengan bentuk sama. Paku dan besi buatan pabrik pantang dipakai, semua suhunan hanya diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu. Gelas dan ember pun terbuat dari bambu. Tidak ada piring di kampung ini. Masyarakat Baduy dalam hanya diperbolehkan menggunakan mangkuk.

Masyarakat Baduy, yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan, ini dikenal berfilosofi sederhana, ”Pondok teu meunang disambung, nu lojor teu meunang dipotong” (yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya, orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.

Masyarakat Baduy menjadi simbol kesederhanaan dan kejujuran. Bangunan rumah yang sangat sederhana, pakaian yang mereka kenakan, makanan yang mereka makan dan kebersamaan yang mereka bangun tidak lebih dari bentuk kesyukuran atas apa yang mereka terima dari Sang Kuasa.

Tidak ada televisi, tidak ada telepon (apalagi telepon seluler!), tidak ada internet, tidak ada alat-alat elektronik atau apa pun yang berbau kemodernan. Masyarakat Baduy Dalam hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat rumah tangga yang sudah diatur oleh adat, di antaranya gelas untuk minum terbuat dari bambu, ember untuk mengangkut air—juga terbuat dari bamboo. Mereka memasak dengan tungku tradisional, dengan dandang dan kukusan, dan banyak lagi yang membedakan mereka dengan kehidupan modern.

Baju yang mereka kenakan tidak diproduksi pabrik, tetapi dijahit dengan tangan. Kain sebagai pengganti celana juga hasil tenun sendiri. Umumnya masyarakat Baduy Dalam seragam dalam berpakaian: mengenakan baju warna putih dan kain berwarna biru dengan ikat kepala putih (untuk laki-laki) dan gelang yang terbuat dari tali akar pohon sebagai tolak bala (penangkal musibah). Dan tidak satu pun di antara mereka yang menggunakan sandal sebagai alas kaki.

Kehidupan sehari-sehari masyarakat Baduy banyak dihabiskan di ladang, terutama oleh kaum perempuannya. Tapi tidak banyak yang mereka tanam. Hanya padi dan beberapa jenis pohon buah-buahan yang diperbolehkan oleh adat saja, salah satunya umbi-umbian dan buah durian.

Selain ke ladang, kaum laki-laki Baduy banyak menghabiskan waktu dengan membuat kerajinan seperti tas, gelang tolak bala, aksesori yang terbuat dari kulit kayu yang dirajut. Sebagian lagi pergi ke hutan mencari lebah untuk membuat madu atau membuat nira (gula merah). Jangan ditanya bagaimana rasanya madu Baduy dalam, dijamin cespleng!

Pada waktu-waktu senggang para perempuan Baduy menenun kain sarung atau selendang. Pemandangan ini hanya dapat ditemui pada waktu menunggu musim panen atau musim tanam usai. Dari memintal benang hingga menenun dilakukan para perempuan masyarakat Baduy di teras rumahnya.

Setelah jadi, selendang dan sarung Baduy ditawarkan kepada para pelancong. Harganya bervariasi, antara Rp25.000 sampai Ep30.000. Dengan bahan lebih banyak, kain sarung tenun khas Baduy ditawarkan seharga Rp70.000.

Harga itu sama sekali tidak mahal. Maklum saja, bahan kimia untuk mewarnai benang didapat dari kota, dan ongkos ke kota bagi mereka cukup mahal. Pengerjaan kain selendang, apalagi kain sarungnya, butuh waktu selama kurang lebih dua minggu.

Bukan hanya apa yang mereka pakai yang diatur oleh adat, rambut hingga rumah mereka pun ditentukan. Rambut laki-laki masyarakat Baduy Dalam tidak boleh dipotong sembarang dan kepala mereka harus diikat kain khusus. Rumah mereka harus berdiri tegak sejajar tanpa jendela.

Mereka tidak memakan sembarang makanan. Padi yang mereka tanam harus padi organik (tanpa pupuk). Semua tanaman masyarakat Baduy tidak menggunakan pupuk. Binatang ternak yang boleh dimakan orang-orang Baduy hanya ayam. Dalam setiap upacara adat seperti pesta pernikahan, melahirkan, sunatan, hingga kematian, ayam menjadi sajian utama.

Tiga Hari Kawaluh

Ayam dan telurnya diperlakukan berbeda pada saat Kawaluh. Dalam setahun, menurut pola penanggalan mereka, ada tiga bulan tertentu yang mereka sebut sebagai bulan suci. Masing-masing satu hari dari tiga bulan khusus ini mereka gunakan untuk berpuasa, termasuk berpantang memakan ayam dan telurnya. Hari dan tanggalnya tak tentu, tergantung petunjuk tetua adat. Itulah Kawaluh.

Puasa Kawaluh tidak serumit aturan umat Islam di bulan Ramadan, misalnya. Mereka berpuasa dari pagi sampai sore pada hari-hari tertentu itu dan hanya dilarang memakan makanan pendamping utama mereka: ayam dan telurnya. Aturan mengenai makanan yang lain tetap berlaku. Ayam dan telur ini aturan khusus untuk hari khusus dan bulan khusus bagi mereka.

Pada hari puasa ketiga di bulan suci semuanya menjadi jelas. Pada saat berbuka puasa hari puasa ketiga Kawaluh ini masyarakat Baduy justru diwajibkan memakan ayam dan telurnya. Kita pun jadi tahu bahwa ayam dan telur ayam akan menjadi menu utama pada puncak sekaligus penutupan bulan suci Kawaluh.

Dalam berbagai keyakinan, makanan, minuman, atau sesuatu yang menyenangkan hendaknya dipantang pada saat-saat tertentu sebagai jalan menuju kesucian. Di dalam berbagai keyakinan juga ada saat manusia merayakan hari-hari tertentu yang dianggap penting. Dua hal ini menyatu dalam Kawaluh dengan ayam dan telurnya. [bersambung/mor]

0 komentar:

Posting Komentar